Kabar poligami yang dilakukan oleh influencer Malaysia, Alif Teega, telah menjadi sorotan publik belakangan ini. Lebih mengagetkan lagi, keputusan tersebut diambil saat istrinya, Aisyah Hijanah, tengah mengandung buah hati mereka yang kelima bulan. Aisyah, yang dikenal sebagai sosok perempuan mandiri dan inspiratif, pun menjadi pusat perhatian. Bagaimana kisah dan sepak terjangnya?
Aisyah Hijanah: Bukan Sekadar Istri Influencer
Aisyah Hijanah bukanlah sosok yang hanya dikenal sebagai istri dari Alif Teega. Perempuan berusia 25 tahun ini memiliki rekam jejak yang impresif. Lulusan psikologi dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini telah berhasil membangun bisnis fesyen muslimah dengan merek Hijanah. Tak hanya itu, Aisyah juga dikenal sebagai penulis produktif. Bersama suaminya, ia telah menerbitkan lima buku bertema motivasi pernikahan.
Kiprah Aisyah tak berhenti di situ. Ia juga aktif sebagai influencer dan motivator yang sering membagikan ilmu psikologinya di media sosial. Bahkan, ia sempat didapuk menjadi model video klip berjudul ‘Wanita’, membuktikan popularitasnya di dunia maya. Pernikahannya dengan Alif Teega pada tahun 2017 telah dikaruniai dua orang anak, Khadeejah Hijanah dan Muhammad Hassan Syarif.
Also Read
Kontroversi Poligami: Izin Istri Bukan Jaminan Legitimasi?
Keputusan Alif Teega untuk berpoligami, di tengah kehamilan istrinya, memicu perdebatan sengit di kalangan warganet. Meski Aisyah secara terbuka menyatakan telah memberikan izin atas keputusan suaminya, hal ini tidak serta merta meredam kontroversi. Banyak yang mempertanyakan, apakah izin istri cukup menjadi dasar legitimasi poligami?
Reaksi Aisyah yang terkesan menerima keputusan tersebut menimbulkan kebingungan. Poligami, terlepas dari ada atau tidaknya izin istri, seringkali dianggap sebagai isu yang kompleks dan berpotensi merugikan perempuan. Di sisi lain, sebagian warganet mencoba memahami perspektif Aisyah, yang mungkin didasari oleh nilai-nilai agama dan budaya yang dianutnya.
Refleksi di Balik Kontroversi
Kasus ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang makna pernikahan, kesetaraan gender, dan hak-hak perempuan dalam hubungan. Apakah poligami, meskipun mendapat persetujuan istri, bisa dianggap sebagai bentuk keadilan dalam rumah tangga? Apakah kita terlalu mudah menghakimi keputusan orang lain tanpa memahami latar belakang dan keyakinan mereka?
Kisah Aisyah Hijanah dan Alif Teega mengajarkan kita untuk tidak mudah menghakimi dan menuduh. Penting untuk menghargai pilihan individu, sekaligus mengkritisi isu-isu ketidakadilan gender yang mungkin terselip di balik keputusan tersebut. Perdebatan ini juga menjadi pengingat bahwa pernikahan bukanlah sekadar persetujuan antara dua individu, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.
Kisah ini juga menjadi cerminan, bahwa di era informasi, sosok publik seperti influencer akan selalu menjadi sorotan. Setiap keputusan, apalagi yang melibatkan isu sensitif seperti poligami, mau tidak mau akan menjadi perbincangan dan menimbulkan berbagai interpretasi. Di sinilah pentingnya kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, serta kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.