Konflik Palestina-Israel adalah drama panjang yang penuh luka. Di tengah konflik yang tak berkesudahan ini, terdapat dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, yang justru sering kali berseberangan. Mengapa kedua kekuatan politik ini sulit bersatu, padahal tujuan mereka sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Palestina? Mari kita bedah lebih dalam.
Dua Jalan Berbeda Menuju Kemerdekaan
Perbedaan mendasar antara Hamas dan Fatah terletak pada ideologi dan strategi perjuangan mereka. Fatah, yang lahir di akhir 1950-an, adalah gerakan sekuler yang berakar pada perjuangan bersenjata untuk membebaskan Palestina. Di bawah kepemimpinan Yasser Arafat, Fatah menjadi kekuatan dominan dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan memilih jalur negosiasi dengan Israel, yang berpuncak pada Perjanjian Oslo. Fatah secara resmi meninggalkan perlawanan bersenjata pada 1990-an, mendukung solusi dua negara.
Hamas, yang muncul pada 1987 saat Intifada pertama, adalah gerakan Islam yang menjadikan perlawanan bersenjata sebagai landasan perjuangan. Hamas menolak mengakui keberadaan Israel dan menganggap pendirian negara itu ilegal. Setelah memenangkan pemilu 2006, Hamas menguasai Jalur Gaza pada 2007 setelah mengalahkan Fatah dalam pertempuran sengit.
Also Read
Perbedaan ideologis ini bukan hanya sekadar perbedaan teori. Ia termanifestasi dalam pendekatan yang sangat berbeda terhadap Israel. Fatah, yang kini dipimpin Mahmoud Abbas, berpegang pada jalur negosiasi dan mengutuk aksi kekerasan oleh warga Palestina. Sementara itu, Hamas tetap berpegang pada perlawanan bersenjata.
Kekuatan Politik dan Perebutan Pengaruh
Selain perbedaan ideologi, persaingan antara Fatah dan Hamas juga didorong oleh perebutan pengaruh politik di Palestina. Fatah, yang menguasai Tepi Barat, memiliki legitimasi sebagai pihak yang bernegosiasi dengan Israel dan komunitas internasional. Sementara itu, Hamas, yang mengendalikan Gaza, memiliki dukungan populer yang cukup kuat karena perlawanannya terhadap Israel.
Perpecahan ini menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik di Palestina. Upaya rekonsiliasi dan pembentukan pemerintahan persatuan sering kali kandas di tengah perbedaan pandangan, terutama soal perlawanan bersenjata. Otoritas Palestina, yang didominasi Fatah, menganggap senjata yang dipegang Hamas ilegal dan ingin mengakhiri perlawanan di Gaza. Sementara itu, Hamas menolak untuk melepaskan senjatanya.
Dampak Terhadap Rakyat Palestina
Konflik internal antara Hamas dan Fatah ini bukan hanya urusan politik elit. Ia memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari warga Palestina. Perpecahan politik ini melemahkan posisi Palestina di mata dunia dan mempersulit upaya untuk mencapai kemerdekaan.
Serangan militer Israel ke Gaza, yang sering terjadi, memperparah penderitaan warga sipil Palestina. Sementara itu, di Tepi Barat, kebijakan keamanan Otoritas Palestina yang mengkoordinasi keamanan dengan Israel sering kali dianggap mengekang kebebasan warga Palestina.
Harapan di Tengah Perpecahan?
Meskipun banyak tantangan, bukan berarti tidak ada harapan. Dokumen politik Hamas tahun 2017 menunjukkan adanya pergeseran pandangan. Hamas menyatakan menerima kompromi politik dan fokus pada tujuan yang realistis. Mereka mengakui bahwa semua warga Palestina bermimpi membebaskan seluruh wilayah Palestina, tetapi saat ini mereka berupaya mencari solusi yang dapat diwujudkan. Ini menunjukkan bahwa ada peluang untuk mencapai kesepahaman.
Namun, perbedaan mendasar soal perlawanan bersenjata tetap menjadi penghalang utama. Selama Fatah terus menolak perlawanan bersenjata dan Hamas tetap berpegang padanya, sulit membayangkan persatuan Palestina yang langgeng.
Persatuan Palestina adalah prasyarat mutlak bagi kemerdekaan dan perdamaian. Namun, untuk mencapainya, Hamas dan Fatah harus mampu melampaui perbedaan ideologi dan kepentingan politik mereka. Mereka harus mengutamakan kepentingan rakyat Palestina di atas segalanya. Jika tidak, drama perpecahan ini akan terus berlanjut, dan rakyat Palestina akan terus menjadi korban.