Kasus dugaan penistaan agama yang menjerat TikTokers Galih Loss menjadi sorotan publik. Pemuda yang dikenal dengan konten prank di platform TikTok ini kini harus berurusan dengan hukum setelah konten tebak-tebakannya dianggap melecehkan agama Islam. Penetapan Galih sebagai tersangka dan penahanannya pada Selasa (23/4) kemarin menjadi bukti bahwa ruang digital bukanlah wilayah tanpa aturan.
Kontroversi berawal dari unggahan video di akun TikTok @galihloss3. Dalam video tersebut, Galih melontarkan pertanyaan "hewan apa yang bisa ngaji?" kepada seorang anak kecil. Jawaban yang diberikannya, berupa plesetan lafaz taawuz, menuai kecaman keras dari warganet. Konten ini dinilai tidak hanya tidak lucu, tetapi juga mengandung unsur penistaan agama yang sangat sensitif.
Respons publik pun tak terhindarkan. Konten tersebut memicu gelombang protes dan kecaman. Galih, yang sebelumnya dikenal dengan konten prank "Apaan tuh?" yang sempat viral, kini harus menghadapi konsekuensi hukum atas perbuatannya. Meski telah menyampaikan permintaan maaf melalui video, proses hukum tetap berlanjut. Polda Metro Jaya mengungkapkan bahwa konten tersebut diduga dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan endorse, sebuah praktik yang sering kali menabrak batas-batas etika demi meraih popularitas.
Also Read
Penelusuran lebih lanjut mengungkap bahwa Galih Loss bukanlah sosok yang asing dengan kontroversi. Konten prank yang ia buat kerap kali dinilai mengganggu dan meresahkan. Ia tidak segan menjadikan orang-orang di pinggir jalan, bahkan driver ojek online sebagai objek prank-nya. Hal ini mengindikasikan bahwa Galih mungkin kurang memiliki sensitivitas terhadap dampak konten yang dibuatnya, baik bagi korbannya maupun bagi masyarakat luas.
Hilangnya akun TikTok Galih Loss menjadi indikasi bahwa ia tengah berupaya untuk meredam dampak negatif yang timbul akibat kasus ini. Namun, langkah tersebut tidak menghapus fakta bahwa perbuatannya telah melanggar hukum dan melukai perasaan banyak orang.
Kasus Galih Loss ini menjadi pengingat penting bagi para konten kreator untuk lebih bijak dalam berkarya. Popularitas dan endorse bukanlah segalanya. Konten yang baik adalah konten yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menghargai nilai-nilai etika dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hukuman 6 tahun penjara yang mengintai Galih Loss seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya tanggung jawab dalam berekspresi di era digital.
Peristiwa ini juga membuka mata kita tentang perlunya literasi digital yang lebih baik. Masyarakat, terutama generasi muda, perlu dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang etika bermedia sosial, serta dampak yang mungkin timbul dari setiap konten yang dipublikasikan. Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan beradab.
Kasus Galih Loss adalah cerminan dari permasalahan yang lebih besar, yaitu bagaimana kita sebagai individu dan sebagai masyarakat mengelola kebebasan berekspresi di era digital. Batas antara kreativitas dan penistaan, antara hiburan dan pelanggaran, harus diperjelas agar tidak lagi ada korban-korban selanjutnya yang terjerat oleh ambisi popularitas semata.