Kasus pemecatan Eric Hiariej dari Universitas Gadjah Mada (UGM) akibat terbukti melakukan pelecehan seksual menjadi catatan kelam dunia akademik Indonesia. Lebih dari sekadar biodata dan perjalanan karier yang gemilang, kasus ini mengungkap sisi gelap di balik tembok perguruan tinggi yang selama ini dianggap sebagai benteng moral.
Nama Eric Hiariej, seorang doktor lulusan Australian National University, sempat menghiasi deretan dosen berprestasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM. Gelar master dan doktor yang diraihnya, publikasi ilmiah di berbagai jurnal, serta posisinya sebagai Kepala Program Studi Hubungan Internasional UGM pada 2012, menjadi bukti jejak rekam akademiknya. Kiprahnya dalam berbagai diskusi dan penelitian, termasuk soal “Bom Cirebon”, menunjukkan kapasitas intelektual yang mumpuni.
Namun, di balik itu semua, terkuaklah tindakan pelecehan seksual yang merusak karir dan reputasinya. Kasus ini mengingatkan kita bahwa gelar dan jabatan akademik tidak menjadi jaminan seseorang bebas dari perilaku menyimpang. Lebih dari itu, kasus ini menyoroti pentingnya mekanisme pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang efektif dan berpihak pada korban.
Also Read
Proses pemecatan Eric Hiariej tidak terjadi begitu saja. Serangkaian sanksi, termasuk skorsing, menjadi bagian dari proses investigasi yang melibatkan kementerian terkait. Ini menunjukkan bahwa UGM, sebagai institusi pendidikan terkemuka, berupaya mengambil langkah tegas dalam menghadapi kasus kekerasan seksual. Pemecatan ini diharapkan menjadi sinyal bagi perguruan tinggi lain untuk lebih serius dalam menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan belajar bagi mahasiswa.
Penting untuk dicatat, kasus ini bukan sekadar soal satu individu. Ini adalah cerminan dari budaya patriarki dan relasi kuasa yang kerap terjadi di lingkungan akademik. Dosen, dengan posisi yang lebih tinggi, sering kali memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan yang merugikan mahasiswa, terutama mereka yang rentan. Kasus Eric Hiariej seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi sistem yang ada, termasuk mekanisme pelaporan, pendampingan korban, serta pemberian sanksi yang adil dan transparan.
Karya-karya ilmiah Eric Hiariej, seperti "Politik Jokowi: Politik Pasca-klientelisme dalam Rantai Ekuivalensi yang Rapuh" atau "The Rise of Post-clientelism in Indonesia" memang memberikan sumbangsih terhadap diskursus ilmu sosial dan politik. Namun, jejak rekamnya kini tercoreng oleh tindakan pelecehan seksual yang tidak bisa diabaikan. Kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas adalah hal yang mutlak, dan kecerdasan tanpa moralitas justru bisa menjadi bencana.
Pemecatan Eric Hiariej memang menjadi titik akhir dalam karier akademiknya di UGM. Namun, ini juga menjadi titik awal bagi upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual. Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh sivitas akademika Indonesia bahwa kekerasan seksual tidak bisa ditoleransi dan harus diberantas hingga ke akarnya.