Kabar mengejutkan datang dari ranah hukum dan pemerintahan. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Eddy Omar Sharif Hiariej, kini berstatus tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi yang diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan ini tentu menjadi sorotan tajam, mengingat rekam jejak Eddy yang dikenal sebagai seorang akademisi hukum pidana ternama. Mari kita telusuri lebih dalam profil dan kontroversi yang menyelimuti sosok ini.
Dari Kampus ke Kursi Pemerintahan
Eddy Hiariej, lahir pada 10 April 1973, meraih gelar Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada usia yang terbilang muda, 37 tahun. Kiprahnya di dunia akademis tak perlu diragukan lagi. Bersama koleganya, Zainal Arifin Mochtar, ia menulis buku ‘Dasar-Dasar Ilmu Hukum’ yang menjadi referensi penting bagi mahasiswa hukum. Namun, perjalanan kariernya membawanya ke dunia pemerintahan, tepatnya pada 23 Desember 2020, saat ia dilantik menjadi Wamenkumham mendampingi Yasonna H Laoly.
Terlibat Kontroversi dan Kasus Hukum
Sebelum tersandung kasus korupsi, nama Eddy sudah sering menghiasi pemberitaan dengan berbagai kontroversi. Ia dikenal sebagai ahli hukum yang kerap dihadirkan dalam persidangan, baik sebagai saksi ahli maupun anggota tim hukum. Salah satunya adalah saat menjadi ahli hukum tim Jokowi-Ma’ruf Amin dalam sengketa Pilpres 2019. Ia juga pernah menjadi saksi ahli dalam kasus penodaan agama Ahok, meskipun kesaksiannya saat itu ditolak jaksa.
Also Read
Tak hanya itu, keterlibatannya dalam kasus kopi sianida pada tahun 2016 juga menuai sorotan. Saat itu, Eddy berpendapat bahwa pembunuhan berencana tidak memerlukan motif, pendapat yang cukup kontroversial di kalangan ahli hukum pidana.
Terjerat Kasus Suap dan Gratifikasi
Kini, Eddy Hiariej harus berhadapan dengan tuduhan korupsi yang serius. KPK telah menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Diduga, ia menerima gratifikasi senilai Rp7 miliar yang disalurkan melalui perantara asisten pribadinya. Uang tersebut diduga terkait dengan permintaan bantuan pengesahan badan hukum PT CLM oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.
Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, pada pertengahan Maret lalu. Sugeng merasa gerah karena laporannya terkesan lamban ditindaklanjuti oleh KPK. Namun, setelah melalui proses penyelidikan dan gelar perkara, KPK akhirnya meningkatkan status Eddy menjadi tersangka.
Implikasi dan Pertanyaan Etika
Penetapan Eddy Hiariej sebagai tersangka tentu memiliki implikasi yang luas. Citra Kementerian Hukum dan HAM sebagai lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum, kini tercoreng. Masyarakat pun mempertanyakan integritas para pejabat negara yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan etika yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang akademisi hukum yang seharusnya memahami prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, justru terlibat dalam praktik korupsi? Kasus Eddy Hiariej menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa jabatan dan kekuasaan seringkali menjadi godaan yang sulit dihindari.
Pelajaran dari Kasus Eddy Hiariej
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya para pejabat negara. Kekuasaan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Jangan sampai jabatan dan kekuasaan justru menjerumuskan kita ke dalam praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Kini, masyarakat menanti langkah KPK selanjutnya untuk mengungkap tuntas kasus ini. Semoga penegakan hukum yang adil dan transparan dapat ditegakkan, tanpa pandang bulu. Kasus Eddy Hiariej, akan selalu menjadi pengingat, bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab moral dan hukum, tidak terkecuali mereka yang memiliki jabatan tinggi di negara ini.