Kabar duka menyelimuti Indonesia, khususnya umat Islam. KH Abdul Syakur Yasin, atau akrab disapa Buya Syakur, telah berpulang pada Rabu, 17 Januari 2024 di Rumah Sakit Mitra Plumbon, Cirebon. Kepergian ulama kharismatik ini di usia 75 tahun meninggalkan duka mendalam sekaligus warisan ilmu yang tak ternilai. Buya Syakur, sosok yang dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Cadangpinggan, Indramayu, bukan hanya sekadar tokoh agama, namun juga cendekiawan yang pemikirannya melampaui zamannya.
Lahir pada 2 Februari 1948, Buya Syakur menempuh perjalanan panjang dalam menimba ilmu. Pendidikan pesantren menjadi fondasi utamanya, dimulai dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Kecintaannya pada bahasa Arab mengantarkannya melanglang buana ke berbagai negeri. Kairo, Mesir, menjadi persinggahan pertamanya pada tahun 1971. Di sana, ia tidak hanya mendalami studi agama, tetapi juga aktif dalam organisasi mahasiswa, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kairo.
Perjalanan akademis Buya Syakur terus berlanjut. Selepas Kairo, Libya, Tunisia, hingga London menjadi saksi ketekunannya dalam menuntut ilmu. Ia berhasil meraih gelar doktor dari London pada tahun 1985 dengan fokus pada dialog teater, sebuah bukti bahwa pemikiran Buya Syakur tidak terbatas pada kajian agama semata. Beliau mampu memadukan ilmu agama dengan berbagai disiplin ilmu lain.
Also Read
Setelah dua dekade menimba ilmu di negeri orang, Buya Syakur kembali ke tanah air pada tahun 1991. Bukan sekadar pulang kampung, kembalinya beliau justru menjadi tonggak baru bagi perkembangan Islam di Indonesia. Fokusnya adalah berdakwah di kampung halamannya, Indramayu. Keinginan untuk mewariskan ilmu yang telah didapatkannya ia wujudkan dengan mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Cadangpinggan pada tahun 2000, yang kemudian membuka gerbang pendidikannya pada tahun 2006.
Pondok Pesantren Cadangpinggan bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi pusat peradaban Islam yang penting. Buya Syakur dikenal sebagai sosok yang sangat memperhatikan aspek spiritual dan intelektual para santrinya. Beliau tak hanya memberikan pelajaran agama klasik, tapi juga merangsang pemikiran kritis dan dialog terbuka.
Di luar pondok pesantren, Buya Syakur juga dikenal aktif memberikan kajian-kajian keagamaan kepada masyarakat luas. Kecerdasan dan kedalaman ilmunya membuatnya mampu menyampaikan pesan-pesan agama dengan lugas dan mudah dipahami. Pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan dakwahnya juga patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa Buya Syakur sangat adaptif dengan perkembangan zaman dan mampu memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.
Selain aktif berdakwah, Buya Syakur juga seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya seperti "Renungan Spiritual Buya Syakur Yasin" dan "Surat-Surat Cinta Buya Syakur Yasin" menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang ulama yang memiliki jiwa seni dan mampu menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan yang indah.
Kepergian Buya Syakur Yasin merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Namun, semangat dan warisan ilmunya akan terus menginspirasi generasi penerus. Kiprahnya sebagai ulama, cendekiawan, pendidik, dan penulis akan selalu dikenang. Buya Syakur bukan hanya sekadar nama, namun juga simbol ketekunan, keikhlasan, dan kecintaan pada ilmu pengetahuan. Semangat beliau dalam menimba ilmu dan mengamalkannya adalah teladan bagi kita semua.