Black Friday, hari yang identik dengan antrean panjang dan obral besar-besaran, kerap dianggap sebagai pesta belanja tahunan. Namun, di balik gegap gempita diskon, tersimpan sejarah yang mungkin tak banyak diketahui. Benarkah Black Friday hanya soal diskon pasca-Thanksgiving? Ternyata, ada kisah kelam yang mewarnai asal-usul istilah ini.
Banyak orang mengira Black Friday adalah hari untuk memanjakan diri setelah perayaan Thanksgiving. Berbagai toko berlomba-lomba menawarkan diskon menggiurkan, seolah membius para pembeli untuk kalap berbelanja. Kita melihatnya sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan barang impian dengan harga miring. Namun, tahukah kamu, bahwa istilah "Black Friday" ternyata punya akar yang lebih kompleks?
Berdasarkan narasi yang beredar luas, Black Friday memang merujuk pada hari Jumat setelah Thanksgiving. Hari itu secara tradisional menjadi momen dimulainya musim belanja Natal. Para pengecer melihatnya sebagai peluang emas untuk meningkatkan penjualan, sehingga mereka berlomba-lomba menawarkan diskon besar-besaran. Dan kita pun seolah terhipnotis untuk turut ambil bagian dalam pesta belanja tersebut.
Also Read
Namun, ada teori lain yang jauh dari kesan ceria dan pesta pora. Teori ini menyebutkan bahwa "Black Friday" pertama kali digunakan oleh polisi di Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Pada hari Jumat setelah Thanksgiving, jalanan kota akan dipadati kendaraan dan pejalan kaki. Kemacetan parah menjadi pemandangan sehari-hari. Akibatnya, aparat kepolisian harus bekerja lembur, menghadapi kerumunan dan situasi lalu lintas yang kacau. Mereka menjuluki hari itu "Black Friday" sebagai bentuk keluhan atas beban kerja tambahan, "duka" karena harus lembur di akhir pekan.
Sejarah yang berbeda ini menyadarkan kita bahwa fenomena Black Friday tak sekadar urusan belanja. Istilah ini menyimpan jejak sejarah, yang menceritakan tentang beban kerja dan kekacauan di masa lalu. Kita seringkali hanya terpaku pada diskon dan kemeriahannya, tanpa pernah mencari tahu asal-usul istilah tersebut.
Perspektif baru ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam menyikapi fenomena Black Friday. Mungkin, alih-alih terjebak dalam euforia belanja, kita bisa merenungkan kembali makna konsumsi dan dampak dari hari belanja besar-besaran ini. Apakah kita benar-benar membutuhkan semua barang yang kita beli? Atau kita hanya terbawa arus promo yang menipu mata?
Black Friday memang identik dengan diskon dan pesta belanja. Tapi, penting untuk diingat bahwa di balik itu semua ada sejarah dan realitas yang perlu kita pahami. Dengan memahami sejarahnya, kita bisa menjadi konsumen yang lebih cerdas dan bertanggung jawab. Jangan sampai kita terjebak dalam "duka" konsumsi yang berlebihan dan melupakan makna yang lebih dalam.