Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW kerap kali diwarnai lika-liku dan tantangan yang menguji kesabaran. Salah satu momen penting dalam sejarah penyebaran Islam adalah perjalanan ke Thaif, sebuah kota yang diharapkan menjadi lahan subur bagi ajaran tauhid. Namun, harapan tak selalu seindah kenyataan. Di sana, Rasulullah dan sahabat setianya, Zaid bin Haritsah, justru menghadapi penolakan keras. Kisah ini bukan hanya tentang kekecewaan, tetapi juga tentang kesetiaan dan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan.
Menyusuri Jejak Dakwah di Thaif: Lebih dari Sekadar Penolakan
Thaif, kota yang berjarak cukup jauh dari Mekah, menjadi tujuan dakwah Rasulullah setelah menghadapi tekanan yang semakin berat di kampung halamannya. Rasulullah tidak berangkat sendiri. Zaid bin Haritsah RA, sosok yang namanya selalu hadir dalam sejarah awal Islam, memilih untuk menemani Rasulullah. Keputusan ini menunjukkan loyalitas dan kecintaan Zaid yang mendalam kepada Sang Nabi.
Namun, kedatangan mereka di Thaif tidak disambut dengan tangan terbuka. Penduduk kota itu menolak ajaran Islam, bahkan bertindak kasar dengan melempari Rasulullah dan Zaid dengan batu hingga keduanya terluka. Dalam kondisi yang sangat sulit, keduanya harus berlindung di kebun milik Uthbah bin Rabi’ah untuk menghindari amukan warga yang membenci dakwah mereka.
Also Read
Di tengah rasa sakit fisik dan kekecewaan mendalam, Rasulullah SAW tetap teguh dalam imannya. Beliau berdoa kepada Allah SWT dengan penuh harap. Bahkan ketika Malaikat Jibril AS datang bersama malaikat penjaga gunung, menawarkan untuk membalikkan Gunung Akhsyabin ke atas Thaif sebagai pembalasan, Rasulullah menolak dengan bijaksana. Beliau lebih memilih jalan dakwah yang lembut dan bertahap, berharap suatu saat penduduk Thaif akan menerima hidayah.
Zaid bin Haritsah: Lebih dari Sekadar Sahabat, Simbol Kesetiaan
Zaid bin Haritsah, bukan hanya sekadar sahabat, melainkan juga simbol kesetiaan dan pengorbanan. Lahir pada 629 M dan wafat pada usia 55 tahun, Zaid memiliki latar belakang yang unik. Ia lahir di Kabilah Kalb, sebuah wilayah di utara Arab. Masa kecilnya diwarnai dengan penculikan dan perbudakan. Namun takdir membawanya hingga menjadi budak di rumah Khadijah, istri Rasulullah. Khadijah kemudian memberikannya kepada Nabi Muhammad yang kemudian memerdekakannya. Sejak saat itu, Zaid memilih untuk menjadi sahabat dan pelayan setia Rasulullah SAW.
Kehadiran Zaid dalam perjalanan dakwah ke Thaif, bukanlah sekadar formalitas. Ia menunjukkan keberanian dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Ia rela menerima perlakuan kasar dan luka demi menemani Rasulullah. Kisah ini menjadi pengingat bagi kita tentang pentingnya loyalitas dalam berjuang di jalan kebenaran.
Refleksi dari Kisah Thaif: Kesabaran dan Keteguhan Hati
Perjalanan dakwah ke Thaif adalah episode penting dalam sejarah Islam. Kisah ini bukan hanya tentang penolakan dan penderitaan, tetapi juga tentang kesabaran, keteguhan hati, dan kesetiaan. Kisah ini mengajarkan kita bahwa dakwah tidak selalu mudah dan tidak selalu berbuah manis. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan hati, jalan menuju kebaikan akan selalu terbuka.
Zaid bin Haritsah, dengan kesetiaannya, menjadi teladan bagi umat Islam dalam mendampingi dan mendukung perjuangan kebenaran. Kisah perjalanan ke Thaif bukan hanya sejarah, tapi juga inspirasi bagi kita semua dalam menjalani kehidupan. Bahwa keberanian bukanlah hanya tentang berani melawan, tetapi juga berani bertahan dalam situasi sulit, sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Kisah ini mengingatkan bahwa kesabaran dan doa adalah senjata yang paling ampuh dalam menghadapi cobaan.