Taylor Swift kembali menggebrak dunia musik dengan album terbarunya, "The Tortured Poets Department," yang dirilis secara mengejutkan di tengah konsernya. Album ini bukan sekadar kumpulan lagu, melainkan sebuah perjalanan emosional yang membuka tabir kisah cinta yang penuh lika-liku, lengkap dengan sindiran pedas khas Taylor.
Salah satu lagu yang mencuri perhatian adalah track judulnya, "The Tortured Poets Department". Lagu ini diduga kuat terinspirasi dari hubungannya yang singkat namun intens dengan Matty Healy, vokalis band 1975. Hubungan ini, yang kabarnya hanya berlangsung sekitar sebulan, digambarkan sebagai rollercoaster emosi dengan momen-momen intim dan lucu, namun juga ketidakpastian yang menghantui.
Lirik lagu ini melukiskan dinamika hubungan yang unik dan intens. Taylor, dengan gaya puitisnya yang khas, menggambarkan bagaimana mereka saling memahami, bahkan di tengah ketidaksempurnaan. Penggalan lirik "And who’s gonna hold you? Like me?" dan "And who’s gonna know you? If not me" menunjukkan keyakinan Taylor bahwa ia adalah satu-satunya yang benar-benar memahami pasangannya.
Also Read
Namun, di balik pengakuan akan koneksi yang dalam, tersirat pula sindiran dan kekecewaan. Lirik "I laughed in your face and said, ‘You’re not Dylan Thomas, I’m not Patti Smith. This ain’t the Chelsea Hotel, we’re modern idiots’" seolah menegaskan bahwa hubungan mereka, yang mungkin terasa sangat berarti bagi mereka berdua, tidaklah seistimewa yang mereka kira. Ungkapan "modern idiots" menyoroti absurditas hubungan mereka yang intens namun juga penuh drama.
Lagu ini juga mengungkap sisi lain dari hubungan mereka, mulai dari kebiasaan aneh, seperti makan cokelat dalam jumlah banyak setelah merokok, hingga pernyataan-pernyataan dramatis seperti ancaman bunuh diri jika ditinggalkan. Bagian "But you told Lucy you’d kill yourself if I ever leave. And I had said that to Jack about you so I felt seen" menunjukkan dinamika yang tidak sehat dalam hubungan mereka, di mana drama dan hiperbola menjadi bumbu utama.
Yang menarik, lagu ini juga menyiratkan bahwa hubungan mereka tidak disetujui oleh orang-orang di sekitar mereka. Lirik "Everyone we know understands why it’s meant to be. Because we’re crazy" menunjukkan bahwa hanya mereka berdua yang memahami logika dibalik hubungan mereka yang dianggap "gila".
Puncak dari lagu ini adalah saat Taylor menceritakan bagaimana mantan pasangannya memindahkan cincin dari jari tengahnya ke jari manis. Momen ini, yang digambarkan sebagai "closest I’ve come to my heart exploding," menunjukkan betapa intens perasaan Taylor, meskipun di tengah ketidakpastian dan drama.
"The Tortured Poets Department" bukan sekadar lagu tentang patah hati, melainkan potret jujur tentang hubungan yang kompleks dan penuh ambivalensi. Taylor dengan berani mengungkap sisi gelap dari cinta, termasuk drama, ketidaksempurnaan, dan bahkan "kegilaan" yang sering menyertainya. Album ini sekali lagi membuktikan bahwa Taylor Swift adalah seorang storyteller ulung yang mampu mengubah pengalaman pribadinya menjadi karya seni yang relevan dan menyentuh hati banyak orang. Ia tidak takut untuk jujur tentang perasaannya, bahkan ketika hal itu terasa menyakitkan atau tidak sempurna. Ini mungkin yang membuat karya-karyanya begitu relatable dan membuatnya tetap menjadi salah satu musisi paling berpengaruh di dunia.